Laman

Sabtu, 19 Desember 2009

Sahabat Nabi SAW

Ksatria Karbala



Perjalanan sejarah telah dipenuhi oleh figur-figur teladan dan tokoh-tokoh besar yang namanya abadi dan tindak-tanduknya layak diteladani. Lembaran hidup mereka mementaskan kepahlawanan, kedermawanan, keramahan, dan kebesaran. Di saat-saat genting sekalipun, kebesaran jiwa mereka tetap menjadi panutan. Kisah tragedi pembantaian keluarga Nabi di Karbala meski menjadi luka yang dalam bagi umat Islam sepanjang sejarah, namun penuh dengan hikmah. Tragedi Karbala adalah pertarungan antara kebenaran dan kebatilan, antara kemanusiaan dan kebinatangan, antara kemuliaan dan kehinaan, antara kebebasan dan keterbelengguan.


Di padang tandus Nainawa, figur-figur besar semisal Hurr bin Yazid Al-Riyahi, Habib bin Madhahir, Ali bin Al-Husein, Wahb bin Abdullah dan lainnya mengajarkan kepada umat manusia di sepanjang zaman tentang makna sejati dari kebesaran, keberanian, kepahlawanan, kehormatan, dan kesetiaan. Pada kesempatan kali ini, kami akan membawa Anda ke masa itu, saat lakon-lakon Karbala mementaskan drama kesucian. Kami akan mengajak Anda untuk mencermati fragmen-fragmen yang mereka mainkan.


Hurr bin Yazid Al-Riyahi
adalah komandan pasukan Ubaidillah bin Ziyad. Dengan sekitar seribu orang yang dipimpinnya, Hurr mendapat perintah untuk menghadang gerak Imam Husein dan rombongannya yang sedang menuju Kufah dan menggiring mereka menghadap Ibnu Ziyad. Untuk beberapa hari pertama setelah pasukannya berhadapan dengan rombongan Imam Husein a.s, mungkin Hurr dipandang sebagai orang yang paling berdosa terhadap keluarga Nabi itu. Sebab dengan menjalankan perintah demi perintah yang diterimanya dari Ibnu Ziyah, Hurr telah membuat posisi Imam Husein dan keluarganya terjepit sampai mereka kehabisan air minum.


Namun sikap hormatnya kepada keluarga Rasul dan kebesaran jiwanya telah membuat dia terbangun dari tidur yang hampir membuatnya celaka. Hurr sadar bahwa dia berada di tengah pasukan yang berniat membantai Al-Husein dan keluarganya. Jika tetap bersama pasukan ini berarti dia akan mencatatkan namanya dalam daftar orang-orang terlaknat sepanjang masa. Hurr melihat dirinya berada di persimpangan jalan. Dia harus memilih, mati tercincang-cincang dengan imbalan surga atau selamat dan kembali ke keluarga dengan membawa cela dan janji akan siksa neraka. Hurr memilih surga meski harus melewati pembantaian sadis pasukan Ibnu Ziyad.


Dengan langkah mantap Hurr memacu kudanya ke arah perkemahan Imam Husein a.s. Semua mata memandang mungkinkah Hurr komandan yang pemberani itu akan menjadi orang pertama yang menyerang Imam Husein? Namun semua tercengang kala menyaksikan Hurr bersimbuh di hadapan putra Fatimah dan meminta maaf atas kesalahannya. Sebagai penebus kesalahannya, Hurr bangkit dan dengan gagah berani mencabik-cabik barisan musuh. Hurr gugur sebagai syahid dengan menghadiahkan darahnya untuk Islam. Imam Husein memuji kepahlawanan Hurr dan mengatakan, “Engkau benar-benar orang yang bebas, seperti nama yang diberikan ibumu kepadamu. Engkau bebas di dunia dan akhirat.â€‌


Muslim bin Ausajah
Muslim bin Ausajah termasuk kelompok orang-orang tua yang berada di dalam rombongan Imam Husein. Muslim adalah sahabat Nabi yang keberanian dan kepahlawanannya di berbagai medan perang dipuji banyak orang. Ketika Imam Husein mengumumkan rencananya untuk bangkit melawan pemerintahan Yazid, Muslim bin Ausajah mendapat tugas mengumpulkan dana, membeli senjata, dan mengambil baiat warga Kufah. Di padang Karbala, ketuaan Muslim sama sekali tidak menghalangi kelincahan geraknya. Satu-persatu orang-orang yang berada di hadapannya terjungkal. Akhirnya pasukan Ibnu Ziyad mengambil insiatif untuk menghujaninya dengan batu. Muslim tersungkur bersimbah darah. Sebelum melepas nyawa, dia memandang sahabatnya, Habib bin Madhahir dan berpesan untuk tidak meninggalkan Imam Husein.


Habib bin Madhahir
Di Karbala, Habib bin Madhahir mungkin yang paling tua diantara para sahabat Imam Husein. Meski tua, Habib adalah pecinta sejati Ahlul Bait. Kehadirannya di tengah rombongan keluarga Nabi memberikan semangat tersendiri. Di malam tanggal sepuluh Muharram, atau malam pembantaian, wajah Habib terlihat berseri-seri. Tak jarang dia melempar senyum kepada anggota rombongan yang lain. Ada yang mempertanyakan mengapa dia tersenyum di malam yang mencekam ini? Habib menjawab, “Ini adalah saat yang paling indah dan menyenangkan. Sebab tak lama lagi, kita akan berjumpa yang Tuhan.â€‌


Di bawah terik mentari Karbala, Habib berlaga di tengah medan. Usia lanjut tidak menghalangi kelincahannya memainkan pedang. Habib sempat melantunkan bait-bait syair yang menunjukkan keberanian dan kesetiannya kepada Nabi dan kebenaran risalah Nabi. Jumlah pasukan dan kelengkapan militer yang ada di pihak musuh tidak membuatnya gentar. Sebab baginya, kemenangan bukan hanya kemenangan lahiriyah. Kematian di jalan Allah adalah kemenangan besar yang didambakan para pecinta seperti Habib. Ayunan pedang tepat mengenai kepala putra Madhahir dan membuatnya terjungkal. Darah segar membahasi janggutnya yang putih. Sebelum menghembuskan nafas terakhirnya, Habib sempat melempar senyum ke arah Al-Husein yang memberinya kata selamat menjumpai surga. Habib gugur setelah melagakan kepahlawanan dan kesetiaan.


Nafi’ bin Hilal
Nafi’ bin Hilal, adalah pahlawan Karbala yang dikenal sebagai perawi hadis, qari, dan sahabat dekat Imam Ali a.s. Kesetiaannya kepada Ahlul Bait telah ia tunjukkan dalam perang Jamal, Siffin, dan Nahrawan dalam membela Imam Ali a.s., ayah Imam Husain. Di Karbala, bersama Abul Fadhl Abbas dan lima puluh orang sahabat Imam Husein, Nafi’ memporak-porandakan barisan musuh untuk sampai ke sungai Furat. Setelah melalui pertempuran sengit, pasukan Imam Husein berhasil mengambil air dan mengirimnya ke perkemahan. Sahabat setia Al-Husien ini dikenal sebagai pemanah mahir. Setelah berhasil membunuh 12 orang dan melukai beberapa orang lainnya, Nafi’ bin Hilal gugur sebagai syahid.


Burair bin Khudhair
Di tengah pasukan Imam Husein yang hanya berjumlah beberapa puluh orang, terdapat beberapa orang yang dikenal sebagai orang ahli ibadah dan zuhud, diantaranya adalah Burair bin Khudhair. Warga Kufah amat menghormati Burair dan menyebutnya sebagai guru besar Al-Qur’an. Ketinggian iman Burair tampak di malam Asyura. Burair yang biasanya jarang bergurau, malam itu menggoda Abdurrahman Al-Anshari, salah seorang sahabat Imam Husein. Kepadanya Abdurrahman berkata, “Wahai Burair, malam ini tidak sewajarnya engkau bergurau.â€‌ Burair menjawab, “Sahabatku, tahukah engkau bahwa sejak muda aku tidak gemar bercanda. Tapi malam ini aku sangat bahagia. Sebab jarak antara kita dan surga hanya beberapa saat. Kita hanya perlu sejenak menari-narikan pedang untuk menyambut pedang-pedang musuh mencabik-cabik tubuh kita, lalu terbang ke surga.â€‌ Burair gugur syahid dan namanya abadi. Dia telah mengajarkan kesetiaan kepada agama dan kecintaan kepada Allah, Rasul dan Ahlul Bait.


Kemenangan dalam berjuang tidak selalu berbentuk kemenangan lahiriyah. Adakalanya gugur dalam perjuangan juga merupakan sebuah kemenangan besar. Tak salah bila ada pepatah yang mengatakan: darah mengalahkan pedang. Kisah Karbala adalah salah satu contohnya. Meski sejak awal, seluruh anggota rombongan Imam Husein telah mengetahui bahwa mereka adalah kafilah yang bergerak menuju kematian, tetapi cita-cita luhur dan keyakinan akan kemenangan dengan syahadah membuat mereka mantap melangkah. Kami masih bersama Anda dengan pembicaraan seputar tokoh-tokoh kebangkitan Asyura dan drama yang mereka pentaskan di Karbala.


Ali Akbar bin Husain as
Ketika rombongan Imam Husein memasuki padang Karbala, terlihat barisan pasukan Ibnu Ziyad yang berbaris bagai batang-batang korma di tengah sahara. Menyadari bahwa ribuan orang bersenjata lengkap yang berada di sana berniat membantai Al-Husein dan keluarganya, Ali Akbar putra Imam Husein bertanya kepada ayahnya, “Ayah, bukankah kita berada di pihak yang benar?â€‌ Imam menjawab, “Iya.â€‌ Mendengar jawaban itu Ali Akbar berseru, “Kalau begitu tidak alasan bagi kita untuk merasa ragu dan gentar.â€‌


Saat Ali Akbar maju ke medan tempur untuk menunjukkan kesetiaannya kepada sang ayah dan imam yang ia ikuti, Al-Husein dengan berlinang air mata memandang nanar ke arah putranya dan berkata, “Ya Allah, saksikankah pemuda yang paling mirip wajah, tutur kata dan perangainya dengan Rasul-Mu, kini maju ke medan tempur. Selama ini, kami mengobati kerinduan kepada Nabi dengan memandangnya. Ya Allah, jauhkan mereka dari barakah bumi ini dan cabik-cabiklah barisan mereka.â€‌


Ali Akbar maju dan dengan gesit dia menari-narikan pedangnya. Beberapa orang yang menghadangnya terjerembab ke tanah terkena sabetan pedang putra Al-Husein. Tak lama kemudian, kisah kepahlawanan dan kesetiaan Ali Akbar menjadi lengkap setelah sebilah pedang mendarat di tubuhnya. Ali Akbar jatuh tersungkur dan musuh-musuh berhamburan menyambutnya dengan mendaratkan pukulan pedang bertubi-tubi ke tubuh pemuda tampan itu. Sebelum menghembuskan nafasnya yang terakhir, Ali Akbar berseru kepada ayahnya dengan mengatakan, “Ayah, Rasulullah telah memberiku air. Beliau menunggu kedatanganmu.â€‌ Cucu Rasul itu gugur syahid dengan meninggalkan pelajaran berharga tentang kesetiaan dan pengorbanan dalam membela kebenaran.


Qasim bin Hasan as
Mungkin kisah Qasim putra Imam Hasan as di Karbala adalah kisah yang paling menarik tentang kesetiaan dan pengorbanan. Kemenakan Imam Husein yang saat itu masih sangat belia, yaitu berusia kurang dari lima belas tahun, telah menyuguhkan pelajaran yang amat berharga. Di hari Asyura, saat pembantaian di Padang Karbala berlangsung, Qasim menatap pilu medan laga. Imam Husein mendatanginya dan bertanya, “Qasim, bagaimana engkau memandang kematian?â€‌ Qasim menjawab, “Kematian bagiku lebih manis dari madu.â€‌ Ya, remaja belia yang terdidik di rumah kenabian dan wilayah itu telah hanyut dalam cinta rabbani dan tak sabar menunggu saat-saat yang paling indah bertemu dengan sang Pencipta. Qasim maju ke medan laga dan gugur sebagai syahid.


Jaun bin Abi Malik
Jaun bin Abi Malik, adalah bekas budak Abu Dzar Al-Ghifari yang kemudian mengabdi di rumah Imam Ali, Imam Hasan, dan terakhir di rumah Imam Husein as. Di siang hari Asyura, Jaun dari dekat menyaksikan dan merasakan penderitaan yang dialami oleh keluarga Nabi dan para pengikut setia mereka di Padang Karbala. Meski tidak terlibat dalam konflik, Jaun tidak mau tinggal diam. Dia bangkit dan meminta ijin kepada Imam Husein untuk mempersembahkan darahnya dalam membela keluarga Nabi. Imam Husein yang terkenal bijak mengatakan, “Wahai Jaun, jangan celakakan dirimu. Engkau telah kumerdekakan.â€‌


Jaun menangis, dan sambil mencium kaki tuannya, dia berkata, “Tuanku, selama ini aku hidup sejahtera di rumahmu. Aku tidak bisa tinggal diam menyaksikan engkau dan keluargamu menghadapi kesulitan ini. Demi Allah aku tidak akan meninggalkanmu sampai darahku bercampur dengan darahmu yang suci.â€‌ Budak berkulit hitam itu menunjukkan kesetiaan seorang hamba kepada tuannya. Jaun mengajarkan makna sejati dari balas budi. Setelah mendapat ijin, bekas budak Abu Dzar itu maju ke medan laga dan mempertontonkan semangat pengorbanan untuk keluarga Rasul. Untuknya Imam Husein berdoa, “Ya Allah putihkan wajahnya, masukkanlah ia ke dalam golongan orang-orang yang baik dan jangan pisahkan dia dari keluarga Muhammad.â€‌


Wahb bin Abdullah
Wahb bin Abdullah adalah salah seorang pengikut setia Imam Husein. Sebelum bertemu Imam Husein, Wahb adalah pengikut agama Nasrani. Di tangan Imam Husein, dia dan ibunya masuk Islam. Saat berada di padang Karbala bersama Imam Husein, Wahb baru 17 hari menikah. Sebagai bukti kesetiaan kepada penghulu pemuda surga dan pemimpin umat itu, Wahb maju ke medan tempur. 24 penunggang kuda dan 24 prajurit pejalan kaki berhasil ditumbangkannya. Namun Wahb berhasil ditangkap dan dibawa menghadap Umar bin Saad komandan pasukan Ibnu Ziyad.


Wahb gugur syahid setelah Ibnu Saad mengeluarkan perintah pemenggalan kepalanya. Kepala tanpa badan itu dikirim ke perkemahan Imam Husein. Ibu Wahb dengan bangga mencium kepala anaknya yang gugur dalam membela kebenaran. Kepala itu dilemparkannya ke arah musuh sambil berkata, “Aku tidak akan mengambil kembali apa yang telah kupersembahkan untuk Islam.â€‌ Tak cukup dengan persembahan itu, wanita tua itu mengambil sebatang kayu dan berlari ke arah musuh. Ibu Wahb ingin menyusul anaknya yang telah mendahuluinya terbang ke surga. Namun Imam Husein mencegahnya dan mendoakan kebaikan untuknya.


Kisah pengorbanan sahabat Nabi dalam perang Uhud yang menjadikan tubuhnya sebagai perisai hidup untuk melindungi Rasulullah, terulang kembali di padang Karbala. Di hari Asyura, pasukan Ibnu Ziyad tidak memberikan kesempatan kepada Imam Husein dan para sahabatnya untuk melaksanakan kewajiban shalat. Saat Imam Husein berdiri untuk mengerjakan shalat berjemaah dengan para sahabatnya, Said bin Abdillah Al-Hanafi berdiri melindungi putra Fatimah itu dari terjangan tombak dan anak panah yang meluncur ke arah Imam Husein. Tubuh Said dipenuhi oleh tombak dan anak panah.


Said roboh. Sebelum menghembuskan nafas terakhirnya ia berkata, “Ya Allah, sampaikan salamku kepada Nabi-Mu Muhammad. Katakan kepada beliau bahwa luka-luka di sekujur tubuhku ini kudapatkan ketika melindungi dan membela cucu kesayangannya yang tengah memperjuangkan agama dan kebebasan.â€‌ Mata sayu Said untuk beberapa saat memandang wajah pemimpinnya. Dia berkata, “Wahai putra Rasulullah, apakah aku sudah melaksanakan janji setiaku?â€‌ Imam Husein menjawab, “Ya, engkau telah mendahuluiku masuk ke surga.â€‌


Abis bin Abu Syubaib Al-Syakiri
Kisah Abis bin Abu Syubaib Al-Syakiri di Karbala adalah kisah cinta yang luhur. Selain dikenal pemberani dan piawai dalam bertarung di medan tempur, Abis juga terkenal sebagai ahli ibadah dan rajin melaksanakan shalat tahajjud. Di malam Asyura, Abis mendatangi kemah Imam Husein. Kepada beliau, Abis mengatakan, “Demi Allah, tidak ada seorangpun di dunia ini yang kucintai dan aku hormati lebih dari dirimu, wahai putra Rasulullah. Jika ketulusan cinta ini dapat aku tunjukkan dengan mengorbankan sesuatu yang lebih berharga dari jiwa dan ragaku, pasti akan kulakukan.â€‌ Abis gugur syahid setelah pasukan musuh yang kewalahan dalam menghadapinya, menghujaninya dengan batu-batuan.



Sa’ad bin Abi Waqqash

Beliau adalah sahabat yang agung, sa’ad bin Abi Waqqash –semoga Allah meridloinya- salah seorang yang pertama masuk Islam dan salah seorang calon penghuni surga dari sepuluh orang yang diberikan kabar gembira oleh Rasulullah saw sebagai calon penghuni surga tanpa dihisab.

Pada saat umurnya menginjak 17 tahun, dalam tidurnya beliau bermimpi tenggelam dilautan yang gelap gulita dan saat ia terhempas di dalamnya beliau melihat bulan; kemudian dia mengikutinya, dan sebelum dia ada tiga orang yang mendahuluinya, yaitu Zaid bin Haritsah, Ali bin abi Thalib dan Abu Bakar Ash-Shidiq, dan ketika matahari telah terbit beliau mendengar bahwa Rasulullah saw menyeru kepada agama baru; dan beliau menyadari bahwa yang dimaksud dengan sinar bulan seperti yang dilihat dalam mimpinya adalah nabi saw; beliaupun segera pergi menemui Rasulullah saw; dan ikut dengan para pendahulu yang telah masuk Islam.

Ketegaran beliau tampak saat ibunya secara kontinyu ingin menghalangi beliau dari jalan Iman, namun usahanya selalu gagal dihadapan hati yang telah terpatri dengan iman, ibunya melarang dirinya untuk makan dan minum, dan menolak pemberian makanan darinya hingga anaknya mau kembali kepada agamanya, namun dengan tegas beliau berkata kepada ibunya : “Wahai ibuku, sesungguhnya saya mencintaimu, namun cinta saya kepada Allah dan Rasul-Nya lebih aku cintai dari yang lainnya”.

Dan saat ibunya mendekati ajal akibat keengganannya untuk makan dan minum, para tetangga beliau memerintahkan sa’ad untuk menengok ibunya dan melunak hatinya hingga mau kemabli kepada agamanya semula, namun sa’ad tetap berkata kepadanya : “Wahai ibuku, ketahuilah demi Allah sekiranya engkau memiliki seratus nyawa dan keluar satu demi satu, saya tetap tidak akan goyah dari agamaku, jika engaku berkehendak maka makanlah, jika tidak mau makan maka terserah engkau, dan saat ibunya melihat akan keteguhan anaknya sehingga tidak mau kembali kepada agamanya; dia menarik kembali azamnya, kemudian mau makan dan minum; dan saat itu pula turun wahyu memberikan keberkahan terhadap apa yang telah dilakukan oleh sa’ad, Allah SWT berfirman : “Jika orang tuamu memaksa kamu untuk berbuat menyekutukan Saya (Allah) sedang kamu tidak ada pengetahun dengannya maka janganlah engkau taati dan pergaulilah keduanya di dunia dengan cara yang baik”. (QS. Luqman : 15)

Sa’ad selalu menemani Rasulullah saw di Mekkah sampai Allah mengizinkan kaum Muslimin untuk hijrah ke Madinah Al-Munawwarah, dan ketika kaum muslimin melakukan hijrah, beliau tetap berada disisi Rasulullah saw dalam memerangi orang-orang musyrik, dan mendapatkan kemuliaan jihad di jalan Allah, dan beliau menganggap bahwa dirinya orang yang pertama menggunakan panah di jalan Allah dan orang yang pertama menumpahkan darah orang-orang kafir.

Ketika Rasulullah saw mengutus gerilyawan yang didalamnya ada Sa’ad bin Abi waqqash ke suatu tempat yang bernama Sabig salah satu negeri di Hijaz, yang terletak disamping kota Jahfah, maka orang-orang msuyrik menyerang kaum muslimin, sedang Sa’ad saat itu menggunakan panah sebagai senjata, dan pada saat itulah pertama kali terjadinya perang dalam Islam.

Pada saat terjadinya perang Uhud, Sa’ad berdiri membentengi Rasulullah saw dan memerangi orang-orang musyrik, lalu beliau melemparkan panahnya hingga Rasulullah saw melihatnya, beliau mendoakannya dan memberikan kabar gembira, beliau bersabda : “Wahai Sa’ad, lepaskanlah panahmu taruhannya adalah ibuku dan bapakku”. (Muttafaqun alaih), setelah itu Sa’ad berkata : “Tidak pernah saya mendengar Rasulullah saw menggabungkan kedua orang tuanya setelah itu”. Sedangkan putri Sa’ad ‘Aisyah binti Sa’ad merasa bangga dan gembira, dan dia berkata : “saya adalah anak seorang yang hijrah yang Rasulullah saw memberikan taruhan pada kedua orang tuanya saat perang Uhud”.

Suatu hari Sa’ad menderita sakit, lalu Rasulullah saw datang untuk menjenguknya dan menghiburnya, maka Sa’ad pun bertanya-tanya sambil berkata : “Sungguh telah sampai pada saya penyakit, dan saya memiliki banyak harta sedang tidak ada yang mewariskannya kecuali putri saya, apakah saya boleh mensedekahkannya dua pertiga dari harta saya ? Nabi saw menjawab : “Jangan”, Sa’ad berkata lagi : “atau setengahnya”, Nabi menjawab : “Jangan”, kemudian beliau bersabda : “sepertiga saja, karena seperti sudah dianggap banyak, sesungguhnya engkau meninggalkan anakmu dalam keadaan berkecukupan lebih baik daripada engkau meninggalkannya dalam keadaan miskin dan meminta-minta kepada manusia, dan tidaklah engkau menginfakkan hartamu dengan mengharap Ridlo Allah kecuali akan diberikan ganjaran, walaupun sesuatu yang engkau letakkan dimulut istri kamu”. (Muttafaqun ‘alaih), hingga pada akhirnya Sa’ad dikarunia anak yang banyak, diantaranya adalah Ibrahim, ‘Amir, Umar, Muhammad dan Aisyah.

Rasulullah saw sangat cinta kepada Sa’ad, dari Jabir diriwayatkan, dia berkata : “Saat kami bersama Rasulullah saw, ketika itu datang Sa’ad, maka Rasulullah saw bersabda : “Ini adalah pamanku, maka lihatlah seseorang dari pamanku”. (At-Turmudzi, At-Thabrani dan Ibnu Sa’ad).

Sa’ad seorang sahabat yang doanya diijabah (dikabulkan) oleh Allah, dan Nabi pernah mendoakannya, beliau bersabda : “Ya Allah, kabulkanlah Sa’ad jika dia berdoa kepada-Mu”. ((At-Turmudzi).

Saat Umar menjabat sebagai Khalifah, Sa’ad ditugaskan menjadi gubernur di Kuffah, dan Umar selalu memantau anak buahnya dan mencari tahu keadaan para pejabatnya, suatu hari Umar datang ke Kuffah guna meneliti pengaduan penduduk Kuffah bahwa Sa’ad saat menjadi Imam bacaannya panjang sekali, namun saat umat berjalan menelusuri masjid dan bertanya kepada penduduk sekeliling tidak ada yang mengatakan tentang Sa’ad kecuali yang baik saja, kecuali satu orang diantara mereka yang mengatakan berbeda, maka apa-apa yang telah di tuduhkan atas Sa’ad : bahwa beliau tidak adil dalam memutuskan suatu permasalahan dan tidak membagikan sesuatu dengan merata dan tidak pernah ikut dalam berperang, maka Sa’ad berdoa : “Ya Allah jika yang demikian adalah dusta, maka butakanlah matanya dan perpanjang umurnya, dan singkapkanlah fitnah yang telah disebarkannya, maka pada saat itu ada seorang laki-laki yang berjalan sambil menggenggam selimut lalu jatuhlah biji matanya, saat ditanyakan akan hal tersebut beliau berkata : “itulah orang tua yang suka memfitnah, yang telah tertimpa musibah dari doanya Sa’ad”.

Suatu hari Sa’ad mendengar seorang lelaki mencela Ali, Tolhah dan Az-Az-Zubair, kemudian beliau mencegahnya namun dia tidak mau mendengar dan tidak mau berhenti, maka Sa’ad berkata kepada orang itu : “jadi engkau mau saya doakan atasmu; orang itupun berkata : “apakah engkau mengancam saya, seakan-akan engkau seperti nabi; maka Sa’ad pun pergi, lalu berwudlu dan sholat dua raka’at kemudian beliau mengangkat kedua tangannya, dan berdoa : “Ya Allah jika engkau melihat dan mengetahui bahwa orang tersebut telah mencaci kaum yang telah Engkau berikan kebaikan kepada mereka; dan sesungguhnya juga telah memurkai orang yang mencela mereka; maka berikanlah kepadanya nasehat dan pelajaran; maka setelah itu belum berjalan lama hingga akhirnya keluarlah seekor unta yang besar dari sebuah rumah dan menyerang orang yang telah mencela para sahabat; hingga akhirnya dia tertindih oleh unta dan pada akhirnya orang tersebut mati”.

Saat terjadi penyerangan atas Pasukan Persia diperbatasan negeri Islam, Umar mengirim tentara yang dipimpin oleh Sa’ad bin Abi Waqqash, hingga terjadilah perang Al-Qadisiah, dan pada saat itu kaum muslimin terkepung oleh Pasukan Persia dan sekutunya, sehingga banyak diantara mereka yang terbunuh termasuk salah seorang komandan mereka Rustum, adapun sisa dari pasukan dari Pasukan Persia merasa gentar kemudian mundur, dan kaum muslimin akhirnya mendapatkan kemenangan yang besar dalam perang Qadisiyah tersebut yang dipimpin oleh Sa’ad bin Abi Waqqash. Dan bukan pada Saat itu saja Sa’ad menjadi komandan perang namun banyak peperangan lain yang beliau pimpin, seperti perang Mada’in; saat sekelompok pasukan berkuda berusaha menghadang dan menyerang kaum muslimin, dan Sa’ad menyadari bahwa saat itu pasukan Persia berada dalam posisi yang menguntungkan, maka dia memutuskan untuk menyerang mereka secara tiba-tiba, sedangkan pada saat itu sungai dajlah sedang meluap karena banjir, maka pada akhirnya kuda-kuda kaum muslimin diseberangkan disungai kemudian berjalan melalui jalan lain guna melakukan penyerangan, dan selanjutnya kaum musliminpun mendapatkan kemenangan yang besar.

Saat seorang Majusi Abu Lu’lu’ah berhasil menikam Umar bin Khattab, Umar memilih enam orang dari sahabat agar siap dipilih manjadi khalifah, dan beliau mengabarkan bahwa saat menjelang wafatnya, Rasulullah saw ridlo pada mereka, dan diantara enam orang yang terpilih adalah Sa’ad bin Abi Waqqash, kemuidan Umar berkata : “Kalau saya boleh memutuskan/memilih salah seorang dari mereka untuk menjadi khalifah maka saya akan memilih Sa’ad”, dan beliau berkata kepada orang yang ada disekelilingnya : “jika Sa’ad terpilih maka itulah dia, dan jika yang terpilih selainnya maka mintalah bantuan kepada Sa’ad, maka ketika utsman terpilih, beliau menjadikannya sebagai pembantu dalam setiap perkaranya.

Saat terjadi fitnah diakhir kekhalifahan Ali –semoga Allah meridloinya-, Sa’ad menjauh darinya; mengisolir dirinya, dan beliau memerintahkan kepada keluarganya dan anak-anaknya jangan memberikan kabar tentang keberadaannya.

Dan saat anaknya Amir datang kepadanya dan memintanya untuk ikut serta dalam memerangi orang-orang yang memerangi mereka, dan khilafah juga memintanya, Sa’ad berkata dengan lemah lembut kepada anaknya : “Wahai anakku, apakah dalam fitnah ini menyeret saya untuk menjadi gembongnya ? demi Allah tidak sama sekali sehingga saya sudi mengangkat pedang, jika saya membunuh orang muslim maka dia tidak akan merasa sakit, namun jika saya memukul orang kafir maka saya telah membunuhnya, dan saya pernah mendengar Rasulullah saw bersabda : “sesungguhnya Allah mencintai hamba yang kaya, tidak terkenal (tawadlu) dan bertakwa”. (Ahmad dan Muslim).

Pada tahun 55 Hijriyah Sa’ad mewasiatkan kapada keluarganya untuk mengkafaninya dengan kain yang lusuh yang beliau miliki, dan tidaklah ada baju yang beliau miliki yang memiliki kemuliaan begitu tinggi dari seluruh penghuni yang ada di dunia ini, dia berkata kepada mereka : “sungguh saya berperang melawan orang-orang musyrik, dalam perang Badar menggunakan baju ini, dan pada hari ini saya menyimpannya”.

Beliau wafat di desa Aqiq, kemudian jenazahnya diusung dengan unta ke Madinah, dan dikebumikan disana sebagai sahabat terakhir yang meninggal dari 10 orang yang dijamin masuk surga tanpa hisab, dan sahabat yang terakhir meninggal dari para Muhajirin.

Hamzah bin Abdul Mutthalib

Beliau bernama Hamzah bin Abdul Mutthalib –semoga Allah meridhainya-, salah seorang paman Rasulullah saw dan saudara sesusuan, lahir dua tahun lebih dahulu dari Rasulullah saw, keduanya diasuh dan disusui oleh Tsuaibah, seorang budak Abu Lahab, beliau dijuluki dengan Abu ‘Amarah, sebagaimana beliau juga teman dekat anak saudaranya, Muhammad saw sebelum dibangkitkan menjadi Rasul, karena beliau tumbuh selalu berama-sama dan dididik berdua.

Hamzak masuk Islam pada tahun kedua setelah Muhammad diangkat menjadi nabi, -dan dalam riwayat yang lain pada tahun keenam setelah Rasulullah saw masuk ke Darul Arqom-; saat itu Hamzah sedang melakukan perburuan, dan ketika Abu Jahal melewati Rasulullah saw dibukit Shofa, Abu Jahal menghinanya, mancacinya dan mencelanya, sedang Rasulullah saw hanya diam, tidak berkomentar dan melawannya, adapun seorang pembantu milik Abdullah bin Jad’an mendengar perkataan Abu Jahal, maka diapun menunggu hingga Hamzah kembali dari bepergiannya, dan ketika Hamzah memegang panah pembantu itu berkata : Wahai Abu ‘Amarah, sekiranya saja engkau melihat perlakuan yang menimpa saudaramu Muhammad dari Abu Al-hakam bin Hisyan (Abu Jahal), dicaci dan dihina dan kemudian pergi meninggalkannya sedang Muhammad diam tidak melawan!? mendengar hal tersebut Hamzah marah lalu pergi menuju Abu Jahal dan mendapatkannya berada dikemurumunan Quraisy, lalu beliaupun memukul kepalanya dengan panahnya hingga terluka parah, kemudian dia berkata : Apakah engkau mencelanya sedangkan saya berada dalam agamanya (padahal saat itu beliau memeluk Islam), saya berkata kepada apa yang diucapkan, maka kembali kepada saya jika kamu mampu ? maka saat itu pula kelompok dari Bani Mahzum (Kabilah Abu Jahal) bangkit ingin menghajar Hamzah, namun Abu Jahal mencegahnya dan berkata kepada mereka : Biarkan Abu ‘Amarah pergi, karena demi Allah saya telah mencaci anak saudaranya dengan cacian yang lebih hina. (Ibnu Sa’ad).

Ketika hari beranjak pagi, Hamzah pergi menuju Ka’bah dan bermunajat kepada Allah agar dilapangkan dadanya pada kebenaran; maka Allahpun mengabulkannya dan mengisi hatinya dengan cahaya keyakinan dan iman, lalu beliau pergi menghadap Rasulullah saw dan menyampaikan perkara yang terjadi pada dirinya, hingga Rasulullah saw merasa gembira dengan Islamnya Hamzah dan mendoakan kapadanya kebaikan.

Demikianlah Allah SWT memuliakan Hamzah dengan Islam, dan Islam kokoh olehnya, karena masuknya beliau kepada Islam merupakan kemenangan yang baru dan dukungan terhadap agama Allah dan Rasulullah saw, namun orang-orang musyrik tidak mendengar dan mengatahui akan Islamnya Hamzah kecuali mereka berkeyakinan akan kuatnya Da’wah Rasulullah saw, hingga mereka menghentikan penghinaan terhadapnya dan memulai dengannya dengan siasat baru, yaitu melalui diplomasi, hingga datang Utbah bin Rabi’ah kepada Rasulullah saw dan memberikan memberikan hadiah seperti yang diinginkan dari harta, kedudukan atau kepemimpinan.

Dalam hidupnya Hamzah selalu menjadi pendamping sekaligus pendukung dan pelindung Rasulullah saw hingga Allah mengizinkan kepada kaum muslimin untuk berhijrah ke Madinah Al-Munawwarah, maka Hamzahpun ikut berhijrah, disana Rasulullah saw mempersaudarakan Hamzah dengan Zaid bin Haritsah, Hamzah ikut dalam perang Badar bersama Nabi saw, dan pada awal berkecamuknya perang beliau menyerang salah seorang dari pasukan musyrikin yang biasa dipanggil dengan Al-Aswad bin Al-Aswad di dekat sumur miliki kaum muslimin, dan dia berkata : saya bersumpah kepada Allah saya akan minum air dari sumur mereka atau saya akan hancurkan atau saya akan mati karenanya, maka Hamzahpun menghadangnya dan memukul kakinya, lalu Al-Aswad berjalan merangkak menuju sumur dan diikuti oleh Hamzah hingga akhirnya terbunuh.

Dan ketika tampak tiga orang bersaudara dari kaum musyrikin yaitu ; Utbah bin Rabi’ah dan saudaranya Syaibah dan anaknya Al-Walid bin Utbah, hingga keluar kepada mereka seorang pemuda dari Anshor dan berseru : Wahai Muhammad… keluarkan kepada kami dari kaum kami orang-orang yang gagah. Maka Rasulullah saw berkata : keluarlah kalian wahai Ubaidah bin Al-Harits, Hamzah dan Ali! Maka Ubaidahpun berhadapan dengan Utbah, Ali dengan Al-Walid, dan Hamzah berhadapan dengan Syaibah, dan hal ini tidak disia-siakan oleh Hamzah kecuali dia berhasil membunuhnya, sebagaimana yang dilakukan oleh Ali dengan seterunya Al-Walid, adapun Ubaidah keduanya sama-sama terluka, hingga Hamzah dan Ali menghunuskan pedang keduanya dan membunuh Utbah.

Pada hari itu Hamzah meletakkan dikepalanya sebuah bulu, hingga dia tampak gagah dan berperang dengan berani dan berhasil membunuh beberapa orang terkemuka dari orang-orang musyrik, setelah perang usai dan Umayah bin Khalaf termasuk dalam tawanan, dia bertanya : siapa yang memakai dan mengajarkan menggunakan ikat kepala dengan bulu ? mereka menjawab : dialah Hamzah. Dia berkata : dialah yang telah berhasil melumpuhkan dan menangkap kami. Dalam perang ini Hamzah memiliki peran yang sangat besar, karena itu Rasulullah saw menjulukinya dengan : Asadullah wa Asadu Rasulihi (Singa Allah dan Singa Rasul-Nya).

Pada kesempatan lain seorang wanita musyrikin bernama Hindun binti Utbah bersumpah akan melakukan balas dendam terhadap Hamzah; karena dia telah membunuh ayahnya Utbah, pamannya dan saudaranya dalam perang Badar, sebagaimana Jubair bin Math’am ingin melakukan balas dendam kapada Hamzah karena telah membunuh pamannya Tu’aimah bin ‘Adiy, dan berkata kepada budaknya Wahsyi, yang mana dia mahir dalam melempar lembing : jika engkau berhasil membunuh Hamzah maka engkau merdeka.

Hingga saat perang Uhud datang dan Hamzah menunjukkan keberaniannya, membunuh para musuh di hadapan Rasulullah saw dengan dua pedang sambil berkata : Sayalah singa Allah. Dan setelah kaum muslimin mundur dari perang, Hamzah berusaha melindungi Rasulullah saw dari serangan orang-orang musyrikin, pada sisi lain Wahsyi bersembunyi dan mengintai Hamzah lalu membunuhnya dengan melemparkan tombaknya dengan keras hingga menimpa dadanya saat dimedan perang, hingga akhirnya beliau syahid sebagai pahlawan yang gagah berani.

Setelah usai perang Rasulullah saw menginsfeksi keadaan dan melihat Hamzah berada ditengah para syuhada sedangkan tubuhnya sudah tidak berbentuk lagi, hidung dan telingnya telah dipotong, perutnya terburai, hingga Rasulullah saw pun merasa sedih melihatnya, dan berkata : “Sekiranya Sofiyah tidak merasa sedih dengan kepergiannya tentu aku akan tinggalkan dirinya, demikian kondisi Hamzah yang mengenaskan hingga dimakan oleh ulat dan burung, dan hingga dia dibangkitkan dari perutnya sebagai kemuliaan dan pengagungan kepadanya”. (Abu Dawud). Dan beliau bersabda : “Penghulu para syuhada adalah Hamzah” (Al-Hakim). Nabi kemudian mensholatkan Hamzah dan para syuhada perang Uhud lainnya yang berjumkah 70 syahid